Teori belajar yang digunakan dalam desain pembelajaran IPAS tidak hanya fokus pada satu teori saja. Teori belajar dapat bergeser dari teori satu ke teori yang lain. Di dunia pendidikan tidak ada teori yang abadi dan dapat mendominasi sepanjang zaman.
Teori berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pemakainya. Sebaiknya tidak mengatakan teori yang satu lebih baik dari yang lain. Pembelajaran dapat memadukan beberapa teori untuk mencapai hasil yang efektif.
Desain pembelajaran IPAS memadukan beberapa teori seperti konstruktivisme, kognitif, dan budaya. Sarita (2017) berpendapat bahwa pebelajar dapat mengkonstruksi realitasnya sendiri atau paling tidak menafsirkannya berdasarkan pada persepsi-persepsi pengalamannya.
Dengan demikian, pengetahuan individu menjadi sebuah fungsi dari pengalaman, struktur mental dan keyakinan-keyakinan seseorang sebelumnya yang digunakan untuk menafsirkan obyek dan peristiwa.
Teori konstruktivisme lebih menekankan pada proses dari pada hasil. Namun demikian, hasil merupakan tolok ukur keberhasilan secara kognitif. Oleh sebab itu, teori kognitif sangat diperlukan untuk dapat memberikan materi pelajaran sesuai dengan perkembangan berpikir siswa.
Konstruktivisme memiliki banyak tafsir, di antaranya ditafsirkan sebagai konstruktivisme sosial (Kosnik et al., 2018).
Dalam pembelajaran, konstruksi sosial erat kaitannya dengan teori budaya. Oleh karena dalam IPAS juga melibatkan sosial serta konteks dari literasi dan numerasi salah satunya adalah budaya, maka dalam desain pembelajaran IPAS juga melibatkan teori budaya. Jika dilihat lebih detail lagi, desain pembelajaran IPAS dapat melibatkan teori-teori belajar yang lain juga.
Di beberapa negara telah memasukkan teori pembelajaran konstruktivisme dari pra-sekolah dan seterusnya ke sekolah menengah dan fakultas pendidikan guru (Cimer & Coskun, 2018).
Perspektif konstruktivisme terdiri dari interaksi melalui kegiatan kelas dan diskusi umumnya berkontribusi pada pengembangan pembelajaran dan pemahaman (Bozkurt, 2017). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anagün (2018) mengungkapkan bahwa keterampilan abad ke-21 berhubungan positif dengan persepsi guru tentang lingkungan belajar konstruktivis.
Penggunaan sumber daya ini mengandaikan bahwa siswa berkomitmen dengan proses belajar, tidak hanya dalam sesi tatap muka di mana ada dialog, di mana mereka bekerja secara kooperatif dengan teman sekelas dan menerima informasi dan umpan balik dari guru tetapi juga dari luar kelas mereka secara pribadi mempelajari sumber daya pelengkap yang tersedia bagi mereka. (Godino et al., 2018).
Konstruktivisme menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (Xu & Shi, 2018) dan penekanannya ditempatkan pada pengembangan keterampilan mental daripada perilaku siswa (Dalkıran et al., 2020).
Konstruktivisme didasarkan pada keyakinan bahwa siswa secara aktif menciptakan, menafsirkan, dan mengatur ulang pengetahuan dengan cara individu (Çolak, 2017).
Konstruktivisme telah dipelajari oleh para peneliti di bidang IPA, matematika, serta filsafat (Edokpolor, 2016). Di dalam kelas, pandangan konstruktivis tentang pembelajaran dapat mengarah pada sejumlah praktik pengajaran yang berbeda.
Dalam pengertian yang paling umum, biasanya ini berarti mendorong siswa untuk menggunakan teknik aktif untuk menciptakan lebih banyak pengetahuan dan kemudian untuk merenungkan dan berbicara tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana pemahaman mereka berubah (Corporation, 2013).
Hasil penelitian (Çolak, 2017) menunjukkan bahwa guru memiliki pendapat yang positif tentang komunitas pembelajaran profesional, dan praktik pengajaran konstruktivis yang efektif di dalam kelas. Mereka dapat meyakinkan diri bahwa konstruktivisme adalah cara belajar-mengajar yang efektif, dan menumbuhkan keyakinan dalam keefektifan konstruktivisme. Selfefficacy melalui berbagai sumber dapat memengaruhi cara guru memandang pengajaran dan pembelajaran, dan bagaimana mereka berperilaku di kelas (Cansiz & Cansiz, 2019).
Prinsip Pedoman Utama Desain Pembelajaran IPAS
Berdasarkan teori belajaran konstruktivisme ada tiga prinsip pedoman utama untuk desain pembelajaran IPAS yaitu:
1. melibatkan siswa dalam penemuan dan tugas pemecahan masalah melalui kerja tim
2. memberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan ide, dan
3. melibatkan siswa dalam proses pembelajaran.
Hal ini juga sesuai dengan tuntutan pembelajaran abad 21. Konstruktivisme memandu siswa untuk mengalami berpikir kritis, berkolaborasi, berkomunikasi dan berkreasi (Ah-Nam & Osman, 2017).
Pelibatan anak dan pemberian banyak kesempatan berbicara serta menyusun isi dialog sesuai tema menjadikan pembelajaran lebih efektif (Yin et al., 2020).
Pembelajaran IPAS bukan hanya sekedar menghafal konsep tetapi siswa berusaha menemukan konsep. Kegiatan menemukan dan belajar sambil bekerja/berbuat akan memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Pengalaman belajar yang diperoleh melalui bekerja/berbuat tidak mudah dilupakan siswa.
Pengertian tersebut mengandung makna bahwa proses pembelajaran IPAS di Sekolah Dasar menuntut guru mampu mengelola pembelajaran IPAS dengan suatu metode dan teknik penunjang yang memungkinkan siswa dapat mengalami seluruh tahapan pembelajaran yang bermuatan keterampilan proses, sikap ilmiah, dan penguasaan konsep.
Dalam pembelajaran konstruktivis, siswa terlibat dalam proses kognitif aktif, seperti memperhatikan informasi masuk yang relevan, mengatur informasi menjadi representasi yang koheren, dan mengintegrasikan informasi yang masuk dengan pengetahuan yang ada.
Oleh karena itu, setelah siswa mendalami konsep dari tahapan sebelumnya, siswa bersama guru membuat kesimpulan akhir dan memberikan soal latihan yang merupakan penerapan dari konsep yang telah mereka pelajari. Secara simultan siswa menarik kesimpulan yang dapat digunakan sebagai prinsip umum dan dapat diterapkan secara umum dengan mempertimbangkan hasil verifikasi.
Oleh sebab itu perlu juga dipilih model pembelajaran yang dapat mengakomodasi teori belajar yang diterapkan dalam desain pembelajaran IPAS.