Kedatangan Belanda dan tentara sekutu ke Tanah Air tidak disambut baik oleh masyarakat karena tujuan mereka datang adalah menaklukkan kembali tanah jajahannya. Benar saja, pertempuran antara para pejuang dengan tentara Sekutu tak terelakkan. Banyak bentrokan terjadi, sebut saja Pertempuran Ambarawa, Pertempuran Surabaya, Bandung Lautan Api, dan masih banyak lagi.
Karena tidak ingin terjadi banyak pertumpahan darah, pihak Indonesia dan pihak Belanda melakukan sejumlah perjanjian-perjanjian untuk mencapai kesepakatan. Indonesia sendiri pun terus berusaha untuk mendapatkan kedaulatan NKRI dari mata dunia melalui diplomasi-diplomasi.
Beberapa diplomasi penting yang dilakukan oleh Indonesia dalam rangka meraih kedaulatan negara
Perundingan Linggajati
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Belanda masih belum mengakui kedaulatan NKRI secara de facto. Oleh karena itu, diadakan sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk membahas hal tersebut. Perundingan tersebut adalah Perjanjian Linggajati yang dilakukan di Kuningan, Jawa Barat pada 10-15 November 1946 dan disahkan pada 25 Maret 1947. Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn.
Perundingan di Linggajati ini mencapai beberapa persetujuan, antara lain Belanda mengakui RI secara de facto yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra. Selain itu akan dibentuk negara federal yang dinamakan Republik Indonesia Serikat (di mana RI menjadi salah satu negara bagiannya). Terakhir akan dibentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
Perundingan Renville
Usai peristiwa di Linggajati, Belanda melanggar perjanjian tersebut dengan melakukan Agresi Militer Belanda I secara serentak pada 21 Juli 1947 terhadap kota-kota besar wilayah RI di Jawa dan Sumatera. Tindakan ini mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional.
Oleh karena itu, PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Australia sebagai perwakilan Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia sebagai perwakilan Belanda (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah (Prof. Dr. Frank Graham) untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Maka dari itu, dilakukanlah sebuah perundingan di atas kapal milik Amerika Serikat yang bernama USS Renville pada 17 Januari 1948. Kala itu, kapal USS Renville sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok.Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Belanda menempatkan seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketuanya.
Hasil yang dituai dari perjanjian ini adalah Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, RI sejajar kedudukannya dengan Belanda, RI menjadi bagian dari RIS dan akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS, serta tentara Indonesia di daerah Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke wilayah RI.
Perundingan Roem-Royen
Belanda kembali melanggar Perjanjian Renville dengan melancarkan Agresi Militer Belanda II. Hal ini menyebabkan Indonesia terpaksa mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat di bawah komando Syafruddin Prawiranegara.
Setelah mendapatkan kecaman dari dunia internasional, barulah Belanda mau mengadakan perundingan kembali dengan Indonesia. Perundingan Dalam perundingan ini dinamakan dengan Perundingan Roem-Royen, digelar di Jakarta pada 7 Mei 1949. Mr. Moh. Roem sebagai ketua delegasi mewakili Indonesia dan Dr. J.H Van Royen sebagai ketua delegasi Belanda. Sedangkan, sebagai mediator perundingan adalah Merle Cochran dari UNCI.
Hasil dari perundingan ini adalah menghentikan perang gerilya dan Indonesia-Belanda bekerja sama dalam memelihara ketertiban dan keamanan. Kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta dan bersedia turut serta dalam Konferensi Meja Bundar yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Konferensi Inter-Indonesia
Sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar diadakan Konferensi Inter-Indonesia yaitu Republik Indonesia dengan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) atau Badan Permusyawaratan Federal. Mula-mula diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli 1949, kemudian dilanjutkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1949. Keputusan penting antara lain negara yang akan dibentuk nanti dinamakan RIS, APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) adalah angkatan perang nasional, dan TNI menjadi inti APRIS.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Delegasi Belanda dipimpin oleh van Maarseveen. Delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh. Hatta, untuk delegasi BFO (forum permusyawaratan federal yang terdiri atas Negara-negara boneka buatan Belanda) dipimpin oleh Sultan Hamid II. Sidang berlangsung pada tanggal 23 Agustus sd 2 November 1949.
KMB menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu Belanda mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30 Desember 1949. Selain itu, Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda. Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda. Namun, permasalahan Irian Barat masih merupakan daerah perselisihan dan akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Meskipun tidak memuaskan banyak pihak, tetapi itulah hasil optimal yang dapat diperoleh. Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS. Bangsa Indonesia melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia dan mendesak keluar dari wilayah RI yang ditandai dengan upacara pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan KMB antara Indonesia-Belanda.