MASBABAL.COM - Kadang kita bertanya dalam hati, mengapa negara kita susah bersaing dengan negara-negara lain, apa ada yang salah dalam sistem perikehidupan rakyat kita. Seberapakah strata pendidikan, kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan yang dimiliki, inovasi dan rekayasa teknologi yang sudah kita buat, apa yang telah dihasilkan karya-karya monumental putra-putri Bangsa Indonesia saat ini, semua itu menggelitik di sanubari para kaum cerdik pandai yang merumuskan dari titik mana kita mau mulai membenahi bangsa kita.
Potensi bangsa Indonesia sangat besar apabila ditinjau dari jumlah penduduknya yang terdiri dari berbagai suku, yang memiliki beraneka ragam budaya yang perlu dikembangkan dan dilestarikan keberadaannya. Namun demikian, potensi yang begitu besar secara kuantitas itu perlu diimbangi dengan kualitas yang dimiliki.
United Nations Development Program pada tahun 2000 melaporkan bahwa Human Development Index Indonesia berada pada peringkat 109 dari 174 negara1 dan kondisi ini lebih parah lagi pada tahun 2003, Human Development Index Indonesia berada pada peringkat 112 dari 175 negara. Hal ini berarti kualitas sumber daya manusia masih rendah dan mengalami proses penurunan dari tahun ke tahun.
Salah satu faktor penyebab rendahnya Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan, yang juga berpengaruh langsung pada sektor ekonomi dan kesehatan. Keadaan tersebut lebih diperburuk dengan masih dominannya budaya tutur (lisan) daripada budaya baca. Budaya ini menjadi kendala utama dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat yang seharusnya mampu mengembangkan diri dalam menambah ilmu pengetahuannya secara mandiri melalui membaca (Tilaar, 2002).
Pemerintah pada saat sekarang ini memberikan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa. Kegiatan membaca merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Parameter kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi pendidikannya. Pendidikan selalu berkaitan dengan kegiatan belajar (Harjasujana, 1997).
Belajar selalu identik dengan kegiatan membaca karena dengan membaca akan bertambahnya pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh.
Fenomena pengangguran intelektual tidak akan terjadi apabila masyarakat memiliki semangat membaca yang membara.
Pada tahun 2011, UNESCO merilis hasil survei budaya membaca terhadap penduduk di negara-negara ASEAN. Faktanya sungguh membuat kita miris. Budaya membaca Indonesia berada pada peringkat paling rendah dengan nilai 0,001. Artinya, dari sekitar seribu penduduk Indonesia, hanya satu yang masih memiliki budaya membaca tinggi.
Indonesia masih terdapat fenomena pengganguran intelektual karena minat membaca masyarakatnya masih dikatakan rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh International Education Achievement (IEA) pada awal tahun 2000 menunjukkan bahwa kualitas membaca anak-anak Indonesia menduduki urutan ke 29 dari 31 negara yang diteliti di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Dengan demikian tidaklah mengherankan bila Indeks kualitas sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) di Indonesia juga rendah. Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2005 bahwa HDI Indonesia menempati peringkat 117 dari 175 negara (Library Perbanas).
Indonesia sebagai negara berkembang, belum memiliki budaya membaca seperti halnya Jepang. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik berkenaan dengan perilaku sosial budaya di dalam masyarakat diketahui persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang membaca surat kabar atau majalah sebesar 18.94% pada tahun 2009 atau turun dari angka sebelumnya sebesar 23.46% pada tahun 2006.
Tentu saja ini merupakan berita yang menyedihkan bagi Negara berkembang yang ingin maju. Indonesia temasuk salah satu Negara yang paling sedikit peminat membacanya.
Bila sebelumnya membaca identik dengan buku atau media cetak saja, maka di zaman sekarang yang sudah serba digital, membaca tidak lagi terpaku pada membaca kertas karna segala informasi terkini teleh tersedia di dunia maya/ internet dan media elektronik lainnya. Dengan semakin mudahnya media untuk mendapatkan informasi bacaan maka sudah seharusnya kita tingkatkan minat baca kita.
Penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulang punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi.
Namun disinyalir bahwa tingkat literasi khususnya di kalangan sekolah semakin tidak diminati, hal ini jangan sampai menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itulah sudah saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulismenulis.
Oleh: Ane Permatasari
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Fisipol
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta