Betulkah literasi hanya diidentikkan dengan keterampilan membaca dan tidak ada kaitannya dengan aktivitas menyimak dan berbicara serta aktivitas visual?
Jawaban:
Miskonsepsi berikutnya mengenai literasi adalah pandangan bahwa literasi identik dengan membaca, bukan yang lainnya. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh pendapat yang mengartikan literasi secara sempit yaitu kegiatan membaca. Konsep literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis (Whitehead, 1990; 172, Kennedy, 2012; 41).
Keempatnya merupakan keterampilan ataupun seni berbahasa (language arts, language skills). Satu dengan yang lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan (Guzzetti, 2002; 278-279). Aktivitas proses saling melengkapi dan konvergensi dari keempat keterampilan (seni) berbahasa ini akan meningkatkan kemampuan berpikir, berkomunikasi dan belajar seseorang.
Keempat keterampilan berbahasa tersebut harus ditumbuhkembangkan sejak dini. Literasi dini ini utamanya sudah harus dimulai dilakukan pada usia 0 tahun sejak kelahiran seorang bayi. Bahkan sesungguhnya ketika pertama kali tumbuh menjadi janin di dalam rahim seorang ibu hingga usia minimal 2 (dua) tahun (Hoe dan Golant, 1985, Roshonah dan Suprajogo, 2015, 2017) yang lebih dikenal dengan pengasuhan 1000 HPK (Seribu Hari Pertama Kehidupan) (BKKBN, 2018).
Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan bayi secara fisik sudah menjadi perhatian orangtua. Namun perkembangan kecakapan literasi mereka belum menjadi fokus (Dewayani dan Setiawan, 2018). Dalam proses menumbuhkembangkan kecakapan literasi di rentang waktu 1000 hari itu melibatkan aktivitas mengajak berbicara, mendengar, mengajukan pertanyaan terbuka, bercerita untuk disimak, menyanyi, membacakan buku, menggambar, mencorat-coret, dan sebagainya. Menenggelamkan (immersion) mereka secara penuh dalam lingkungan budaya keaksaraan (literacy environment).
Memakai konsep sesuai dengan perkembangan (developmental appropriateness) pada kegiatan pembelajaran dengan konteks baik di rumah maupun di sekolah harus mencerminkan kebutuhan perkembangan murid: fisik, emosional, sosial dan kognitif-linguistik (Otto, 2015; 156).
Di masa remaja, mereka terlihat berbeda dari murid-murid, terutama cara berfikir dan berbicaranya. Remaja secara kognitif diantaranya ditandai dengan kemampuan mereka membuat penalaran abstrak dan kecepatan pengolahan informasi yang meningkat (Papalia dan Feldman, 2014; 24). murid-murid usia dasar cukup mahir menggunakan bahasa, tetapi remaja membawa penyempurnaan selanjutnya. Kosakata berlanjut untuk berkembang sebagaimana aktivitas membaca ketika mereka mulai dewasa. Di usia 16 hingga 18 tahun rata-rata orang muda mengetahui sekitar 80.000 kata.
Dengan kemampuan berpikir abstraknya, remaja dapat menentukan dan membahas hal yang abstrak, sudah menggunakan istilah-istilah yang mengekspresikan hubungan logis serta menjadi lebih sadar akan kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna dan senang menggunakan ironi, permainan kata dan metafora. Mereka juga sudah lebih terampil dalam menggunakan perspektif sosial yaitu kemampuan untuk merangkai kata-kata pada tingkat pengetahuan dan sudut pandang orang lain (Owens, 1996 dalam Papalia dan Feldman, 2014; 27).
Berbasis pada konsep, tahapan dan karakteristik murid dan remaja sesuai pertumbuhan dan perkembangannya, maka kecakapan literasi mereka menuntut optimalisasi penggunaan dari semua aspek keterampilan berbahasa yang meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis secara menyeluruh dan integratif, tidak parsialistik dan dikotomistik. Yang mana ini harus diterjemahkan dalam strategi, metode, dan teknik menumbuhkembangkan dan meningkatkan literasi di dalam kurikulum, materi maupun media pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada format aktivitas membaca semata.
Apatah lagi di era digital sekarang, dimana siswa tumbuh dalam lingkungan sosial yang banjir stimulasi visual. Mulai dari media cetak yang atraktif dengan inovasi digital dalam desain, warna dan tata letak, media elektronik berupa televisi, film (Dewayani, 2017; 43), perangkat playstation (PS) yang menyajikan informasi, hiburan dan permainan dan media digital berupa gawai, tablet dan semacamnya.
Literasi kekinian tetap dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan berbahasa itu dengan pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional. Strategi, metode, dan tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta perilaku remaja saat ini. Literasi tidak dapat dipaksakan, apalagi pada remaja hanya dalam bentuk aktivitas membaca.
Oleh karenanya, media multimodal, media yang melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio, visual, audiovisual, gestur dan teks spasial, menjadi bagian penting dari kehidupan siswa. Sudah tepat, buku Panduan GLS (Gerakan Literasi Sekolah) ketika mengartikan literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara (GLS, 2017).