Pembangunan ekonomi yang inklusif pada dasarnya adalah pembangunan ekonomi yang dapat memberikan kontribusi bagi mayoritas rakyat Indonesia. Besarnya jumlah tenaga kerja Indonesia di sektor pertanian sering diasosiasikan sebagai sektor yang perlu didorong untuk membangun ekonomi yang inklusif.
Selain sektor pertanian, banyak pihak yang sudah menyampaikan pentingnya peran UMKM dalam mendorong perekonomian Indonesia. Pemerintah harus menekankan pentingnya ekonomi yang bersifat inklusif.
Negara-negara yang berkembang, termasuk Indonesia, banyak yang terjebak dalam ekonomi ekslusif yaitu keinginan untuk mengejar taraf perekonomian negara-negara maju dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama dengan memacu pertumbuhan ekonomi sektor sekunder (industri manufaktur) dan tersier (industri jasa).
Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi tetapi hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Disisi lain yakni di sektor primer, terutama sektor pertanian, kurang mendapatkan perhatian padahal sektor tersebut banyak sekali menyerap tenaga kerja. Akibatnya terjadilah ketimpangan pendapatan antar penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dengan sektor manufaktur dan jasa.
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Hal ini terbukti dengan data pertumbuhan ekonomi dari BPS pada tahun 2011 sebesar 6,2% menjadi 5,0% pada tahun 2016, sedang Indeks Gini tetap berada pada kisaran 0,41 sampai dengan awal tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tidak secara otomatis mereduksi ketimpangan ekonomi sosial.
Demikian juga apabila dilihat dari konstribusi pertumbuhan ekonomi juga masih menunjukkan adanya ketimpangan.
Kontribusi PDB Jawa dan Sumatera sebesar 80,4% (2016) sedangkan wilayah lainnya yaitu Kalimantan (7,7%), Sulawesi (6,2%), Papua (2,5%) dan Bali Nusa Tenggara (3,5%). Dari data tersebut tampak sekali adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun namun kondisi tersebut juga dibarengi dengan peningkatan kesenjangan kekayaan antarpenduduk, peningkatan Indeks Gini dan pengurangan kesenjangan antar wilayah.
Dampak dari kondisi tersebut masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin tertinggal jauh oleh masyarakat kelas menengah dan atas.
Menurut Prof. Roemer, tingginya ketimpangan (ataupun tren perubahannya) dalam masyarakat dapat disebabkan oleh:
1). Ketimpangan dalam usaha, kerja keras, dan talent individu;
2). Ketimpangan dalam opportunity (kesempatan); dan
3). Kebijakan.
Berdasarkan pernyataan diatas perlu digaris bawahi bahwa upaya mengatasi ketimpangan lebih diutamakan untuk mengatasi ketimpangan kesempatan dalam berusaha, bukan mengatasi ketimpangan dalam memperoleh pendapatan (outcome) dan konsumsi.
Pemerintah sejatinya telah mengusahakan agar ekonomi Indonesia tidak hanya tumbuh dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang ekspansif diharapkan menjadi pendorong pembangunan inklusif yaitu pembangunan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan.
Presiden RI ke 6 dalam Regional Meeting and Stakedolder Consultation on the Post-2015 De velopment Agenda yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali Desember 2012 yang lalu, menyampaikan pendapat bahwa Indonesia dan negara-negara lain harus menjalankan 'Pembangunan Inklusif' agar dunia berhasil dalam mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan global.
Beliau juga menyebutkan bahwa pembangunan inklusif adalah pembangunan yang berkualitas, yaitu pembangunan yang memperhitungkan pertumbuhan (pro-growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan memperhatikan lingkungan (pro-environment).