Masbabal.Com - Dari persoalan ekonomi, korban jiwa, hingga respon pemerintah kolonial yang cenderung lambat sehingga memperburuk kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, telah memicu keresahan-keresahan dan ketidakpuasan yang semakin mendalam di kalangan masyarakat lokal. Begitu dahsyatnya letusan Krakatau dan besarnya perhatian dunia internasional terhadap penderitaan korban bencana, tidak membuat pemerintah Belanda semakin peduli pada kesulitan dan penderitaan penduduk dan sensitif terhadap pergolakan-pergolakan masyarakat yang semakin besar.
Meskipun Belanda pada dasarnya menyadari bahwa masyarakat Banten kerap melakukan perlawanan terhadap otoritas Belanda. Banten merupakan salah satu wilayah yang aktif dalam pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda. Banten juga memiliki tradisi mistis dan religius yang kuat di kalangan masyarakat serta sangat mengagungkan pemimpin sosial-politik. Pada abad ke-18, di Banten kerap terjadi pergerakan yang dimotori oleh figur lokal, ulama atau santri, meskipun secara umum berskala dan berefek minor. Atsushi Ota (2006) menyebutkan mengenai pemberontakan di Banten (1750-1752) yang dipimpin Kyai Tapa terhadap penguasa lokal dan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC, Perusahaan Dagang Belanda). Multatuli (dalam Ota, 2006: 1) pun menyatakan bahwa Banten merupakan wilayah yang sering bergejolak akibat eksploitasi terhadap masyarakat lokal yang kian miskin dan terbelakang akibat kebijakan pemerintah kolonial dan elit lokal saat itu.
Kehidupan masyarakat yang telah miskin dan tertekan oleh berbagai kebijakan kolonial (seperti penderitaan di periode tanam paksa (1830-1870), pajak, dan sewa tanah) dan lokal, semakin menderita apalagi letusan Krakatau telah menghilangkan sumber mata pencaharian, kesulitan pangan, kurangnya bantuan penguasa dan berbagai penyakit pada manusia dan hewan ternak. Menurunnya kondisi ekonomi dan psikologis masyarakat secara luas ini, memungkinkan perasaan tertekan berkembang menjadi gerakan penolakan terhadap keadaan. Apalagi sebelumnya sudah ada benturan benturan yang berlangsung lama sebelum meletusnya Krakatau antara masyarakat dan penguasa termasuk di dalamnya dari kalangan elit agama atau kaum elit masyarakat versus pejabat-pejabat kolonial ataupun pribumi.
Bencana meletusnya Gunung Krakatau dianggap sebagai tanda kiamat dan akan datangnya Imam Mahdi, sehingga ramalan-ramalan ini membakar emosi masyarakat dan kecemasan yang luar biasa di kalangan masyarakat Banten (Kartodirdjo, 1984: 233). Di samping itu, bencana Krakatau juga dianggap sebagai sebuah azab atau hukuman dari Tuhan YME terhadap kesewenang-wenangan penguasa sehingga memunculkan sebuah pendapat bahwa kesewenang-wenangan harus dilawan.
Dari pendapat-pendapat tersebut, di wilayah Banten, religiusitas Islam semakin kental. Berbagai kegiatan agama berupa pengajian dan khotbah banyak berlangsung yang disertai dengan agitasi atau ajakan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda (Hakim, 1981: 106). Frustasi terhadap kondisi ekonomi dan sosial pasca bencana menyebabkan ramalan kedatangan Imam Mahdi pun semakin kuat dan membangkitkan semangat masyarakat untuk melawan dominasi orangorang asing (Kartodirdjo, 1984: 233). Kekerasan kecil atau keberanian masyarakat asli menyerang orang-orang Belanda secara orang perorang atau kelompok kecil ini pun disimpulkan mulai sering terjadi setelah peristiwa meletusnya Gunung Krakatau (Hakim, 1981: 106).
Sumber : Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 16 No. 1 Tahun 2014
Meskipun Belanda pada dasarnya menyadari bahwa masyarakat Banten kerap melakukan perlawanan terhadap otoritas Belanda. Banten merupakan salah satu wilayah yang aktif dalam pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda. Banten juga memiliki tradisi mistis dan religius yang kuat di kalangan masyarakat serta sangat mengagungkan pemimpin sosial-politik. Pada abad ke-18, di Banten kerap terjadi pergerakan yang dimotori oleh figur lokal, ulama atau santri, meskipun secara umum berskala dan berefek minor. Atsushi Ota (2006) menyebutkan mengenai pemberontakan di Banten (1750-1752) yang dipimpin Kyai Tapa terhadap penguasa lokal dan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC, Perusahaan Dagang Belanda). Multatuli (dalam Ota, 2006: 1) pun menyatakan bahwa Banten merupakan wilayah yang sering bergejolak akibat eksploitasi terhadap masyarakat lokal yang kian miskin dan terbelakang akibat kebijakan pemerintah kolonial dan elit lokal saat itu.
Kehidupan masyarakat yang telah miskin dan tertekan oleh berbagai kebijakan kolonial (seperti penderitaan di periode tanam paksa (1830-1870), pajak, dan sewa tanah) dan lokal, semakin menderita apalagi letusan Krakatau telah menghilangkan sumber mata pencaharian, kesulitan pangan, kurangnya bantuan penguasa dan berbagai penyakit pada manusia dan hewan ternak. Menurunnya kondisi ekonomi dan psikologis masyarakat secara luas ini, memungkinkan perasaan tertekan berkembang menjadi gerakan penolakan terhadap keadaan. Apalagi sebelumnya sudah ada benturan benturan yang berlangsung lama sebelum meletusnya Krakatau antara masyarakat dan penguasa termasuk di dalamnya dari kalangan elit agama atau kaum elit masyarakat versus pejabat-pejabat kolonial ataupun pribumi.
Bencana meletusnya Gunung Krakatau dianggap sebagai tanda kiamat dan akan datangnya Imam Mahdi, sehingga ramalan-ramalan ini membakar emosi masyarakat dan kecemasan yang luar biasa di kalangan masyarakat Banten (Kartodirdjo, 1984: 233). Di samping itu, bencana Krakatau juga dianggap sebagai sebuah azab atau hukuman dari Tuhan YME terhadap kesewenang-wenangan penguasa sehingga memunculkan sebuah pendapat bahwa kesewenang-wenangan harus dilawan.
Dari pendapat-pendapat tersebut, di wilayah Banten, religiusitas Islam semakin kental. Berbagai kegiatan agama berupa pengajian dan khotbah banyak berlangsung yang disertai dengan agitasi atau ajakan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda (Hakim, 1981: 106). Frustasi terhadap kondisi ekonomi dan sosial pasca bencana menyebabkan ramalan kedatangan Imam Mahdi pun semakin kuat dan membangkitkan semangat masyarakat untuk melawan dominasi orangorang asing (Kartodirdjo, 1984: 233). Kekerasan kecil atau keberanian masyarakat asli menyerang orang-orang Belanda secara orang perorang atau kelompok kecil ini pun disimpulkan mulai sering terjadi setelah peristiwa meletusnya Gunung Krakatau (Hakim, 1981: 106).
Sumber : Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 16 No. 1 Tahun 2014