Masbabal.Com - Letusan Krakatau pada Agustus 1883, yang diikuti oleh suara yang keras dan gelombang tinggi tsunami yang mencapai radius yang sangat jauh, telah memberikan gambaran pada masyarakat dunia tentang kedahsyatan bencana. Berita-berita bencana yang menyebar di Nusantara dan dunia internasional telah memberikan gambaran pada masyarakat luas tentang kerusakan dan penderitaan serius yang dialami oleh masyarakat sepanjang pantai di Selat Sunda.
Dari informasi tentang letusan dan dampaknya tersebut, mengalirlah berbagai bantuan terutama dalam bentuk dana keuangan ke wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan parah. Dana bantuan korban letusan Krakatau datang dari negara-negara, seperti Eropa, Asia, Afrika, dan Rusia. Dari Belanda bantuan pun datang dari raja dan ratu Belanda, pengusaha, dan masyarakat umum. Pengumpulan dana juga dipublikasi dalam surat kabar “Krakatau, Internationale Courant” yang terbit pada tanggal 22 September 1883 yang ditulis dalam berbagai bahasa di Eropa, seperti Perancis, Belanda, Swedia, Hungaria, Spanyol, Portugis, Inggris, Rusia, Latin, Turki, Arab, Suriname, Cina, Melayu, Jepang, Afrika, dan sebagainya, termasuk bahasa Jawa. Banyak aliran dana yang masuk ke kantong bantuan korban Krakatau yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda, sehingga terbentuklah sebuah komite bantuan khusus untuk bencana letusan Krakatau.
Namun, cenderung lambatnya pertolongan Belanda terhadap penduduk asli dibandingkan penduduk Eropa menyebabkan munculnya problem-problem sosial lain, seperti bertambahnya korban jiwa karena penyakit dan kelaparan, kekecewaan, dan sentimen sosial. Belanda yang seharusnya menjaga integritasnya sebagai satu-satunya aktor yang bekerja pada usaha pertolongan dan bantuan pada korban bencana telah berbelok dari arahnya. Banyak pertolongan Belanda cenderung cepat pada pencarian dan pertolongan korban dari penduduk Eropa dibandingkan dengan penduduk asli.
Di samping itu, kompensasi uang yang diberikan pada korban bencana juga banyak teralokasi untuk para pejabat pribumi, Belanda, dan penduduk atau pengusaha Cina. Pembangunan rumah atau pembagian makanan, pakaian, dan obat-obatan yang tidak merata menyebabkan juga banyak penduduk asli yang masih selamat terombang ambing mencari bantuan sendiri ke daerah lain. Belanda pun lebih serius untuk cepat memperbaiki dan membangun infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan dan rel kereta api, yang secara tidak langsung, hal tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk memudahkan pemberian bantuan ke daerah bencana tapi juga memiliki kepentingan untuk menghidupkan dan menormalkan kembali kegiatan ekonomi Belanda yang tersebar di daerah Banten terutama di Sumatera.
Pada dasarnya, begitu besarnya dana bantuan bencana Krakatau yang masuk ke kas pemerintah Belanda, dapat membuat Belanda mampu melakukan pertolongan terhadap korban bencana dan perbaikan fisik dengan lebih baik. Namun secara umum, banyak kepentingan dan harapan penguasa yang berlaku dibandingkan harapan koloninya. Oleh karenanya, kondisi ini semakin menyuburkan sikap antipati masyarakat pada pemerintahan Belanda.
Dari informasi tentang letusan dan dampaknya tersebut, mengalirlah berbagai bantuan terutama dalam bentuk dana keuangan ke wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan parah. Dana bantuan korban letusan Krakatau datang dari negara-negara, seperti Eropa, Asia, Afrika, dan Rusia. Dari Belanda bantuan pun datang dari raja dan ratu Belanda, pengusaha, dan masyarakat umum. Pengumpulan dana juga dipublikasi dalam surat kabar “Krakatau, Internationale Courant” yang terbit pada tanggal 22 September 1883 yang ditulis dalam berbagai bahasa di Eropa, seperti Perancis, Belanda, Swedia, Hungaria, Spanyol, Portugis, Inggris, Rusia, Latin, Turki, Arab, Suriname, Cina, Melayu, Jepang, Afrika, dan sebagainya, termasuk bahasa Jawa. Banyak aliran dana yang masuk ke kantong bantuan korban Krakatau yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda, sehingga terbentuklah sebuah komite bantuan khusus untuk bencana letusan Krakatau.
Namun, cenderung lambatnya pertolongan Belanda terhadap penduduk asli dibandingkan penduduk Eropa menyebabkan munculnya problem-problem sosial lain, seperti bertambahnya korban jiwa karena penyakit dan kelaparan, kekecewaan, dan sentimen sosial. Belanda yang seharusnya menjaga integritasnya sebagai satu-satunya aktor yang bekerja pada usaha pertolongan dan bantuan pada korban bencana telah berbelok dari arahnya. Banyak pertolongan Belanda cenderung cepat pada pencarian dan pertolongan korban dari penduduk Eropa dibandingkan dengan penduduk asli.
Di samping itu, kompensasi uang yang diberikan pada korban bencana juga banyak teralokasi untuk para pejabat pribumi, Belanda, dan penduduk atau pengusaha Cina. Pembangunan rumah atau pembagian makanan, pakaian, dan obat-obatan yang tidak merata menyebabkan juga banyak penduduk asli yang masih selamat terombang ambing mencari bantuan sendiri ke daerah lain. Belanda pun lebih serius untuk cepat memperbaiki dan membangun infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan dan rel kereta api, yang secara tidak langsung, hal tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk memudahkan pemberian bantuan ke daerah bencana tapi juga memiliki kepentingan untuk menghidupkan dan menormalkan kembali kegiatan ekonomi Belanda yang tersebar di daerah Banten terutama di Sumatera.
Pada dasarnya, begitu besarnya dana bantuan bencana Krakatau yang masuk ke kas pemerintah Belanda, dapat membuat Belanda mampu melakukan pertolongan terhadap korban bencana dan perbaikan fisik dengan lebih baik. Namun secara umum, banyak kepentingan dan harapan penguasa yang berlaku dibandingkan harapan koloninya. Oleh karenanya, kondisi ini semakin menyuburkan sikap antipati masyarakat pada pemerintahan Belanda.