Masbabal.Com - Penyebaran virus Corona memberikan tekanan pada pasar finansial dunia, perekonomian global, dan memperburuk sentimen dari investor. Volatilitas dan penurunan pasar finansial global sempat mencapai level yang belum pernah terlihat sejak masa krisis finansial global tahun 2008. Bagaimana investor harus menyikapi kondisi ini?. Dampak Covid 19 Terhadap Perekonomian Indonesia.
Dampak Wabah Virus (Covid 19) Terhadap Ekonomi
Dampak dari wabah virus ini terhadap pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan lebih besar daripada dampak SARS pada tahun 2003, karena besaran nilai tambah dari ekspor China telah meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak 2003. Penyebaran virus ini memberikan dampak negatif terhadap aktivitas perdagangan, pariwisata dan ritel secara global.
Namun dampak terbesar terhadap perekonomian global adalah dari disrupsi terhadap supply chain dengan ditutupnya pabrik-pabrik di China, karena sudah sedemikian terintegrasinya global supply chain secara global dan karena penerapan just-in-time inventory management yang menyebabkan rendahnya tingkat persediaan secara umum.
Baca : Dampak Covid 19 Terhadap Perekonomian Indonesia
Sejak muncul pada akhir Desember 2019, jumlah kasus COVID-19 di China telah semakin berkurang, sehingga pemerintah China menginstuksikan normalisasi produksi untuk dilakukan sejak 10 Februari 2020. Dampak terhadap perekonomian global ditentukan oleh seberapa cepat normalisasi produksi di China akan terjadi. Jika aktivitas produksi kembali normal secara bertahap, maka dampak terhadap pertumbuhan ekonomi global pada kuartal pertama tahun 2020 diperkirakan sebesar 0.35 0.50%, untuk kemudian terjadi perbaikan bertahap.
Negara-negara lain di Asia kemungkinan akan membukukan pelambatan pertumbuhan yang lebih dalam. Karena perekonomian Indonesia sangat berorientasi domestik, dampak terhadap Indonesia akan relatif terbatas dibandingkan dengan negara-negara lain yang jauh lebih tergantung terhadap ekspor dan pariwisata. Untuk Indonesia, net export hanya sekitar 1% dari total PDB dan pariwisata menyumbang kurang dari 2% dari total PDB, jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Singapore, Malaysia dan Thailand.
Stimulus dan Respon Cepat Global
Setelah memotong suku bunga acuan pada bulan Februari, kami memperkirakan Bank Indonesia untuk kembali memotong suku bunga dalam waktu 1-2 bulan ke depan. Pemerintah juga memberikan stimulus sejumlah IDR10 triliun untuk sektor pariwisata, sektor transportasi udara, sektor properti, serta menambah manfaat jaminan sosial bagi 15,2 juta penerima manfaat. Yang terkini, BI memangkas reserve requirements ke 4% dari 8% mulai 16 Maret serta memangkas reserve requirements untuk bank ekspor impor sebanyak 50 bps mulai April untuk sembilan bulan.
Di tengah kondisi ini, pemerintah China berkomitmen mengeluarkan stimulus sebesar sekitar USD10 miliar untuk membatasi penyebaran virus, dan sekitar USD243 miliyar untuk stabilisasi pasar modal, serta memangkas suku bunganya. Kami juga melihat meningkatnya kemungkinan The Fed untuk memotong suku bunga pada bulan Juni. Faktor-faktor yang mendukung antara lain: Lemahnya pertumbuhan ekonomi AS, ekonomi global dan resesi ekonomi di Jepang dan Jerman, deflasi, dan inversi pada kurva imbal hasil di Amerika Serikat. Ditambah lagi, mulai menyebarnya virus ke Amerika Serikat dianggap dapat menimbulkan confidence shock, yang dapat berakibat semakin melambatnya perekonomian Amerika Serikat.
Dampak Wabah Virus Terhadap Pasar Finansial
Dalam dua bulan pertama tahun ini pasar finansial global, Asia dan Indonesia menurun tajam. MSCI World turun 7.68%, MSCI Asia ex Japan turun 8.82% dan IHSG 13.44%. Ketidakpastian yang ditimbulkan penyebaran virus menyebabkan investor menjual aset-aset yang dianggap berisiko tinggi seperti saham. Kepanikan pasar menyebabkan indeks volatilitas meningkat tajam, walaupun tidak setajam peningkatan indeks volatilitas pada waktu terjadi devaluasi mata uang Yuan dan pada waktu terjadi ketegangan perdagangan AS-China. Kami melihat dari pengalaman di masa lalu bahwa kepanikan biasanya hanya berlangsung sesaat, dengan berjalannya waktu pasar dapat menganalisa dengan lebih baik dampak sesungguhnya dari suatu event terhadap pasar.
Di tengah ketidakpastian dan risk aversion (keengganan terhadap risiko), IHSG turun tajam ke level terendah dalam 3 tahun terakhir. IHSG bahkan terkoreksi lebih dalam dibandingkan negara-negara di Asia Utara yang seharusnya terdampak lebih parah dari disrupsi di supply chain, dari lemahnya perdagangan serta dari kelesuan sektor pariwisata. Valuasi IHSG pada akhir Februari menjadi lebih rendah sekitar dua standar deviasi di bawah rata-rata tujuh tahun terakhir.
Secara historis terlihat bahwa penurunan tajam ke level tersebut biasanya berlangsung sangat singkat, diikuti dengan kenaikan, bahkan kenaikan drastis setelahnya. Kali ini berbagai stimulus dan kebijakan fiskal serta moneter yang akomodatif diharapkan akan membantu IHSG untuk rebound. Dampak forced seling saham terkait kasus gagal bayar dari beberapa institusi keuangan di Indonesia kemungkinan mereda sebelum akhir kuartal kedua tahun ini berakhir, dengan telah selesai dijualnya saham-saham yang dimiliki institusi-institusi tersebut.
Setelah kepanikan terhadap wabah virus mereda, dan pasar menganalisa dengan lebih tenang dampak riil terhadap ekonomi Indonesia serta menyadari valuasi yang menarik, maka pasar saham Indonesis berpotensi besar untuk naik. Pasar obligasi berhasil mempertahankan kinerja di area positif, dalam dua bulan pertama tahun ini BI masih naik 2,5%. Risk aversion mendorong beberapa investor institusi untuk mengalihkan investasi dari saham ke obligasi. Menariknya real yield obligasi Indonesia, berkurangnya penerbitan surat utang pemerintah tahun ini dibandingkan tahun lalu serta kebijakan moneter global dan domestik yang akomodatif masih akan membuat obligasi menarik di mata investor asing maupun domestik.
Kita tentuny turut prihatin terhadap korban dari coronavirus serta terus memonitor perkembangan dari penyebaran virus ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa virus ini mendatangkan risiko tinggi bagi perekonomian China tahun ini dan merupakan sumber risiko dan volatilitas bagi pasar finansial global saat ini. Namun seperti terlihat di masa lalu, setiap epidemi selalu mengikuti tiga tahap, yaitu eskalasi (jumlah kasus meningkat tajam), stabilisasi (jumlah peningkatan kasus stabil dan mulai menurun) dan de-eskalasi (jumlah kasus menurun tajam). Yang berbeda adalah jangka waktu dari tahap eskalasi sampai deeskalasi. Sejak muncul pada akhir Desember 2019, jumlah kasus COVID-19 meningkat pesat di China, kemudian ke berbagai negara. Pada perkembangannya, jumlah kasus di China semakin berkurang, namun jumlah kasus baru di luar China menunjukkan peningkatan, terutama di Korea Selatan dan Italia. Secara total, sampai akhir Februari, jumlah kasus baru harian secara global telah menurun, dan total kasus aktif menunjukkan penurunan.
Walaupun belum pasti, beberapa perkiraan menyebutkan bahwa penyebaran virus akan memuncak sekitar bulan April, lalu mereda setelahnya, seperti yang terjadi pada kasus coronavirus yang lain yaitu SARS (Januari-April 2003) dan MERS (Januari-April 2014). Dampak negatif terhadap perekonomian akan terlihat pada kuartal pertama tahun ini. Setelah itu, jika penyebaran virus mereda dan aktivitas produksi mengalami normalisasi, maka perekonomian dan pasar finansial global akan membaik. Kebijakan fiskal dan moneter global yang tetap akomodatif akan membantu memitigasi dampak negatif dari penyebaran virus terhadap ekonomi dan pasar finansial.
Kami berpendapat bahwa dampak negatif dari virus corona ini adalah sementara, merupakan short term disruption, not destruction. Jangan Lupa Berdoa.
Sumber :
Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist Manulife Investment Indonesia.
Dampak Wabah Virus (Covid 19) Terhadap Ekonomi
Dampak dari wabah virus ini terhadap pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan lebih besar daripada dampak SARS pada tahun 2003, karena besaran nilai tambah dari ekspor China telah meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak 2003. Penyebaran virus ini memberikan dampak negatif terhadap aktivitas perdagangan, pariwisata dan ritel secara global.
Namun dampak terbesar terhadap perekonomian global adalah dari disrupsi terhadap supply chain dengan ditutupnya pabrik-pabrik di China, karena sudah sedemikian terintegrasinya global supply chain secara global dan karena penerapan just-in-time inventory management yang menyebabkan rendahnya tingkat persediaan secara umum.
Baca : Dampak Covid 19 Terhadap Perekonomian Indonesia
Sejak muncul pada akhir Desember 2019, jumlah kasus COVID-19 di China telah semakin berkurang, sehingga pemerintah China menginstuksikan normalisasi produksi untuk dilakukan sejak 10 Februari 2020. Dampak terhadap perekonomian global ditentukan oleh seberapa cepat normalisasi produksi di China akan terjadi. Jika aktivitas produksi kembali normal secara bertahap, maka dampak terhadap pertumbuhan ekonomi global pada kuartal pertama tahun 2020 diperkirakan sebesar 0.35 0.50%, untuk kemudian terjadi perbaikan bertahap.
Negara-negara lain di Asia kemungkinan akan membukukan pelambatan pertumbuhan yang lebih dalam. Karena perekonomian Indonesia sangat berorientasi domestik, dampak terhadap Indonesia akan relatif terbatas dibandingkan dengan negara-negara lain yang jauh lebih tergantung terhadap ekspor dan pariwisata. Untuk Indonesia, net export hanya sekitar 1% dari total PDB dan pariwisata menyumbang kurang dari 2% dari total PDB, jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Singapore, Malaysia dan Thailand.
Stimulus dan Respon Cepat Global
Setelah memotong suku bunga acuan pada bulan Februari, kami memperkirakan Bank Indonesia untuk kembali memotong suku bunga dalam waktu 1-2 bulan ke depan. Pemerintah juga memberikan stimulus sejumlah IDR10 triliun untuk sektor pariwisata, sektor transportasi udara, sektor properti, serta menambah manfaat jaminan sosial bagi 15,2 juta penerima manfaat. Yang terkini, BI memangkas reserve requirements ke 4% dari 8% mulai 16 Maret serta memangkas reserve requirements untuk bank ekspor impor sebanyak 50 bps mulai April untuk sembilan bulan.
Di tengah kondisi ini, pemerintah China berkomitmen mengeluarkan stimulus sebesar sekitar USD10 miliar untuk membatasi penyebaran virus, dan sekitar USD243 miliyar untuk stabilisasi pasar modal, serta memangkas suku bunganya. Kami juga melihat meningkatnya kemungkinan The Fed untuk memotong suku bunga pada bulan Juni. Faktor-faktor yang mendukung antara lain: Lemahnya pertumbuhan ekonomi AS, ekonomi global dan resesi ekonomi di Jepang dan Jerman, deflasi, dan inversi pada kurva imbal hasil di Amerika Serikat. Ditambah lagi, mulai menyebarnya virus ke Amerika Serikat dianggap dapat menimbulkan confidence shock, yang dapat berakibat semakin melambatnya perekonomian Amerika Serikat.
Dampak Wabah Virus Terhadap Pasar Finansial
Dalam dua bulan pertama tahun ini pasar finansial global, Asia dan Indonesia menurun tajam. MSCI World turun 7.68%, MSCI Asia ex Japan turun 8.82% dan IHSG 13.44%. Ketidakpastian yang ditimbulkan penyebaran virus menyebabkan investor menjual aset-aset yang dianggap berisiko tinggi seperti saham. Kepanikan pasar menyebabkan indeks volatilitas meningkat tajam, walaupun tidak setajam peningkatan indeks volatilitas pada waktu terjadi devaluasi mata uang Yuan dan pada waktu terjadi ketegangan perdagangan AS-China. Kami melihat dari pengalaman di masa lalu bahwa kepanikan biasanya hanya berlangsung sesaat, dengan berjalannya waktu pasar dapat menganalisa dengan lebih baik dampak sesungguhnya dari suatu event terhadap pasar.
Di tengah ketidakpastian dan risk aversion (keengganan terhadap risiko), IHSG turun tajam ke level terendah dalam 3 tahun terakhir. IHSG bahkan terkoreksi lebih dalam dibandingkan negara-negara di Asia Utara yang seharusnya terdampak lebih parah dari disrupsi di supply chain, dari lemahnya perdagangan serta dari kelesuan sektor pariwisata. Valuasi IHSG pada akhir Februari menjadi lebih rendah sekitar dua standar deviasi di bawah rata-rata tujuh tahun terakhir.
Secara historis terlihat bahwa penurunan tajam ke level tersebut biasanya berlangsung sangat singkat, diikuti dengan kenaikan, bahkan kenaikan drastis setelahnya. Kali ini berbagai stimulus dan kebijakan fiskal serta moneter yang akomodatif diharapkan akan membantu IHSG untuk rebound. Dampak forced seling saham terkait kasus gagal bayar dari beberapa institusi keuangan di Indonesia kemungkinan mereda sebelum akhir kuartal kedua tahun ini berakhir, dengan telah selesai dijualnya saham-saham yang dimiliki institusi-institusi tersebut.
Setelah kepanikan terhadap wabah virus mereda, dan pasar menganalisa dengan lebih tenang dampak riil terhadap ekonomi Indonesia serta menyadari valuasi yang menarik, maka pasar saham Indonesis berpotensi besar untuk naik. Pasar obligasi berhasil mempertahankan kinerja di area positif, dalam dua bulan pertama tahun ini BI masih naik 2,5%. Risk aversion mendorong beberapa investor institusi untuk mengalihkan investasi dari saham ke obligasi. Menariknya real yield obligasi Indonesia, berkurangnya penerbitan surat utang pemerintah tahun ini dibandingkan tahun lalu serta kebijakan moneter global dan domestik yang akomodatif masih akan membuat obligasi menarik di mata investor asing maupun domestik.
Kita tentuny turut prihatin terhadap korban dari coronavirus serta terus memonitor perkembangan dari penyebaran virus ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa virus ini mendatangkan risiko tinggi bagi perekonomian China tahun ini dan merupakan sumber risiko dan volatilitas bagi pasar finansial global saat ini. Namun seperti terlihat di masa lalu, setiap epidemi selalu mengikuti tiga tahap, yaitu eskalasi (jumlah kasus meningkat tajam), stabilisasi (jumlah peningkatan kasus stabil dan mulai menurun) dan de-eskalasi (jumlah kasus menurun tajam). Yang berbeda adalah jangka waktu dari tahap eskalasi sampai deeskalasi. Sejak muncul pada akhir Desember 2019, jumlah kasus COVID-19 meningkat pesat di China, kemudian ke berbagai negara. Pada perkembangannya, jumlah kasus di China semakin berkurang, namun jumlah kasus baru di luar China menunjukkan peningkatan, terutama di Korea Selatan dan Italia. Secara total, sampai akhir Februari, jumlah kasus baru harian secara global telah menurun, dan total kasus aktif menunjukkan penurunan.
Walaupun belum pasti, beberapa perkiraan menyebutkan bahwa penyebaran virus akan memuncak sekitar bulan April, lalu mereda setelahnya, seperti yang terjadi pada kasus coronavirus yang lain yaitu SARS (Januari-April 2003) dan MERS (Januari-April 2014). Dampak negatif terhadap perekonomian akan terlihat pada kuartal pertama tahun ini. Setelah itu, jika penyebaran virus mereda dan aktivitas produksi mengalami normalisasi, maka perekonomian dan pasar finansial global akan membaik. Kebijakan fiskal dan moneter global yang tetap akomodatif akan membantu memitigasi dampak negatif dari penyebaran virus terhadap ekonomi dan pasar finansial.
Kami berpendapat bahwa dampak negatif dari virus corona ini adalah sementara, merupakan short term disruption, not destruction. Jangan Lupa Berdoa.
Sumber :
Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist Manulife Investment Indonesia.