Masbabal.Com - Siapa yang terkena Qadha' Puasa, Apakah Qadha’ Ramadhan Boleh
Ditunda, Bagaimana Mengakhirkan Qadha’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya,
Tidak Wajib untuk Berurutan Ketika Mengqadha’ Puasa, Barangsiapa Meninggal
Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa, Bagaimana Pembayaran Fidyah dan
Bagaimana Cara Penunaian Fidyah. Qadha’ Puasa dan Fidyah Bulan Ramadhan.
Siapakah yang Terkena Qadha’ Puasa?
Yang dimaksud dengan qadha’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki
batasan waktu di luar waktunya. Adapun orang yang dikenakan qadha’ puasa
adalah orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa, wanita hamil dan
menyusui apabila berat untuk puasa, seorang musafir, juga wanita yang
mendapati haidh dan nifas.
Qadha’ Ramadhan Boleh Ditunda
Qadha’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan
Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah
sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Di antara
pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qadha’ puasanya sampai bulan
Sya’ban.
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qadha’ Ramadhan dilakukan dengan segera
(tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah
orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Mengakhirkan Qadha’ Ramadhan
Hingga Ramadhan Berikutnya
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Orang yang menunda qadha’ puasa sampai Ramadhan
berikutnya tanpa uzur wajib bertaubat kepada Allah dan dia wajib memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qadha’
puasanya ... Dan tidak ada kafarah (tebusan) selain itu.
Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”
Namun apabila dia menunda qadha’nya karena ada udzur seperti sakit atau
bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk
berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqadha’ puasanya.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menganggap bahwa memberi makan kepada
orang miskin karena menunda qadha’ puasa sampai Ramadhan berikutnya dapat
diangggap sunnah dan tidak wajib. Dengan alasan bahwa pendapat tersebut
hanyalah perkataan sahabat dan menyelisihi nash (dalil) yang menyatakan puasa
hanya cukup diganti (diqadha’) dan tidak ada tambahan selain itu.
Tidak Wajib untuk Berurutan Ketika Mengqadha’ Puasa Dasar dibolehkannya hal
ini adalah firman Allah Ta’ala,
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam
mengqadha’ puasa) tidak berurutan”.
Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah,
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli
warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah kerabat, menurut Imam Nawawi. Ulama lain
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ahli waris. Namun hukum membayar puasa
di sini bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan.
Boleh beberapa hari qadha’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian
mereka (boleh laki laki ataupun perempuan) mendapatkan satu atau beberapa hari
puasa. Boleh juga dengan serempak beberapa ahli waris membayar utang puasa
tersebut dalam satu hari.
Yang dibayarkan puasa di sini adalah orang yang ketika hidupnya mampu dan
punya kesempatan untuk mengqadha’ namun belum dilakukan hingga meninggal
dunia.
Pembayaran Fidyah
Bagi orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang
sakit yang sakitnya tidak kunjung sembuh, maka wajib bagi mereka fidyah
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَعَلَ الَِّينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al
Baqarah: 184).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk
orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya,
maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”.
Cara Penunaian Fidyah
1. Ukuran fidyah adalah dilihat dari ‘urf (kebiasaan yang layak) di masyarakat
setempat. Selama dianggap memberi makan kepada orang miskin, maka itu
dikatakan sah.
2. Fidyah harus dengan makanan, tidak bisa diganti uang karena inilah perintah
yang dimaksud dalam ayat.
3. Satu hari tidak puasa berarti memberi makan satu orang miskin.
4. Bisa diberikan berupa makanan mentah (ditambah lauk) atau makanan yang
sudah matang.
5. Tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan.
6. Waktu penunaian fidyah boleh setiap kali tidak puasa, fidyah ditunaikan,
atau bisa pula diakhirkan di hari terakhir Ramadhan lalu ditunaikan semuanya.